KONTRIBUSI HADIST TERHADAP ASBABUN NUZUL

Oleh:
Manahan Harahap
PRODI
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN
PENDIDIDKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCA
SARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
UIN SUSKA RIAU
Th. 2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-quran adalah mukjizat bagi umat islam yang diturunkan kepada
nabi Muhammad Saw untuk disampaikan kepada umat manusia. Al Quran sendiri dalam
proses penurunannya mengalami banyak proses yang mana dalam penurunannya itu
berangsur-angsur dan bermacam-macam nabi menerimanya. Sebagaimana dalam
perjalanan pembukuan al Quran yang banyak mengalami hambatan sampai banyaknya
para penghafal al quran yang meninggal, maka dalam proses aplikasi nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya juga sangat banyak kendalanya. Kita mengenal
turunnya al quran sebagai tanggal 17 Ramadhan. Maka setiap bulan 17 Ramadhan
kita mengenal yang namanya Nuzulul Quran yaitu hari turunnya al Quran.
Dalam penurunan al Quran terjadi di dua kota yaitu Madinah dan
Mekkah. Surat yang turun di Mekkah disebut dengan Makkiyah sedangkan surat yang
turun di Madinah disebut dengan surat Madaniyah. Dan juga dalam pembedaan itu
terjadi banyak perbedaan antara para ahli Quran apakah ini surat Makkiyah atau
surat Madaniyah. Maka dari permasalahan diatas tercetus dalam benak kami ingin
mengulas tentang kontribusi Hadist Terhadap Asbabun Nuzul. Maka untuk itu
pertanyaan ini akan mengantarkan pembahasan kami tentang penjelasan sebab turunnya al-Quran.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian hadist..?
2.
Apa
pengertian asbabun nuzul..?
3.
Bagai
mana cara mengetahui asbabun nuzul..?
4.
Bagaimana
contoh asbabun nuzul..?
5.
Bagaimana
periwayatan asbabun nuzul..?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hadist
Sunnah
atau hadis artinya menurut bahasa adalah cara yang dibiasakan atau cara yang
dipuji. Sedangkan menurut istilah bahwa hadis adalah perkataan Nabi,
perbuatannya dan taqrirnya (yakni ucapan dan perbuatan sahabat yang beliau
diamkan dengan arti membenarkannya). Dengan demikian sunnah Nabi dapat berupa:
sunnah Qauliyah (perkataan), Sunnah Fi’liyah (perbuatan), Sunnah Taqriryah
(ketetapan).
Hadits
adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari
Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam.
Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan
Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua
setelah Al-Qur'an.[1]
Dilihat
dari dua defenisi ditas maka dapat disimpulkan hadist adalah segala sesuatu
yang disandarkan kepeda Nabi baik ia pekataan, perbuatan, dan ketetapannya,
yang menjadi sumber hukum kedua setelah Al-qur’an.
B.
Pengertian
Asbabun Nuzul
Secara
bahasa Asbabun Nuzul terdiri dari dua kata yaitu Asbab, jamak dari sabab yang
berarti sebab atau latar belakang, sedangkan Nuzul merupakan bentuk masdar dari
anzala yang berarti turun.
Asbab an-nuzul merupakan ilmu yang menunjukkan hubungan dan
dialektika antara nash (teks) dan realitas. Asbab an-nuzul memberikan materi
baru bagaimana peran teks dalam merespon realitas yang melingkupinya. Teks juga
menjelaskan bagaimana ayat atau sejumlah ayat diturunkan ketika ada satu
peristiwa khusus yang mengharuskan munculnya teks tersebut. Sangat sedikit
ayat-ayat yang diturunkan tanpa ada sebab eksternal. Sehingga dalam memahami
makna teks dituntut adanya pengetahuan awal tentang realitas yang memproduksi
teks-teks tersebut.[2]
M. Hasbi Ash Shiddieqy mengartikan Asbabun Nuzul sebagai kejadian
yang karenanya diturunkan Al-Qur’an untuk menerangkan hukumnya di hari timbul
kejadian-kejadian itu dan suasana yang didalamnya Al-Qur’an diturunkan serta
membicarakan sebab yang tersebut itu, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu ataupun
kemudian lantaran sesuatu hikmah.[3]
Subhi Shalih menyatakan
bahwa Asbabun Nuzul itu sangat berkenaan dengan sesuatu yang menjadi sebab
turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan
yang menjadi sebab turunnya ayat
sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya
suatu peristiwa.[4]
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa asbabun nuzul adalah
sebuah peristiwa yang menyebabkan turunnya firman Allah disaat Nabi menerima
wahyu, baik iya berupa jawaban atas peristiwa yang dialami saat itu atau
penjelasan atas kejadian tersebut.
C.
Cara
Mengetahui Asbabun Nujul
Yang mempunyai otoritas untuk mengungkapkan asbab nuzul ayat-ayat
Al-Quran adalah para sahabat Nabi,
karena merekalah yang menyaksikan turunnya ayat-ayat Al-Quran tersebut. Dengan
demikian, pelacakan asbab nuzul harus diakukan dengan mencari dan mempelajari
perkataan-perkataan sahabat yang mengungkapkan proses turunnya ayat-ayat
Al-Quran itu,atau riwayat-riwayat yang bermuara minimal para sahabat. Kalau
perkataan sahabat tersebut juga mengungkapkan tentang perkataan atau perbuatan
Rasulullah yang berhubungan dengan turunnya ayat-ayat Al-Quran, maka
kedudukannya menjadi hadis marfu, dan sangat berpeluang untuk memperoleh
kualitas hadis sahih. Tetapi, kalau perkataan mereka itu, tidak menyinggung
sedikitpun tentang Rasulullah, maka hadisnya menjadi mauquf. Oleh sebab itu,
wajar kalau para sarjana ilmu Al-quran, kemudian menyimpulkan bahwa hadis-hadis
tentang asbab nuzul itu, pada umumnya lemah karena tidak sampai pada
Rasulullah. Akan tetapi hadis-hadis tentang asbab nuzul tidak menyangkut
tentang ajaran keagamaan, tetapi sekedar mengemukakan tentang latar belakang,
atau berbagai peristiwa yang mengiringi turunnya ayat. Oleh sebab itu, kendati
lemah, hadis-hadis tersebut dapat digunakan, sebagai bahan referensi untuk
memahami pesan-pesan ayat Al-Quran.[5]
Pedoman
dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang
berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang
sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekadar
pendapat (ra’yu), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada
Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan: ”Tidak halal berpendapat mengenai asbabun
nuzul Kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung
dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan
membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”[6]
Dalam periwayatan
asbab an-nuzul dapat dikenali melalui empat cara yaitu:[7]
1.
Asbab
an-nuzul disebutkan dengan redaksi yang sharih (jelas) atau jelas ungkapannya
berupa (sebab turun ayat ini adalah demikian), ungkapan seperti ini menunjukkan
bahwa sudah jelas dan tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.
2.
Asbab
an-nuzul yang tidak disebut dengan lafaz sababu (sebab), tetapi hanya dengan
mendatangkan lafaz fa ta’qibiyah bermakna maka atau kemudian dalam rangkaian
suatu riwayat, termasuk riwayat tentang turunnya suatu ayat setelah terjadi
peristiwa. Seperti berkaitan dengan pertanyaan orang Yahudi pada masalah
mendatangi isteri-isteri dari dhuburnya. Maka turun surat Al-Baqarah ayat 223,
artinya:”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,
maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki, dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya, dan berilah
kabar gembira orang-orang yang beriman.
3.
Asbab
an-nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Turunnya ayat tersebut setelah
adanya pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia diberi wahyu
oleh Allah untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan ayat yang baru diturunkan
tersebut.
4.
Asbab
an-nuzul tidak disebutkan ungkapan sebab secara tegas Tetapi menggunakan
ungkapan dalam redaksi ini dikategorikan untuk menerangkan sebab nuzul suatu
ayat, juga ada kemungkinan sebagai penjelasan tentang kandungan hukum atau
persoalan yang sedang dihadapi.
D.
Periwayatan
Asbabun Nuzul
Keterangan dari riwayat-riwayat tentang asbab al-nuzul tidak semua bernilai shahih (benar), seperti
halnya riwayat-riwayat hadis. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang
seksama terhadap keterangan-keterangan (riwayat-riwayat) tentang asbab al-nuzul,
baik tentang sanad-sanadnya (perawi-perawi) maupun matan- matannya.
Asbab
al nuzul suatu ayat terkadang mengandung beberapa riwayat, maka riwayat manakah
yang benar-benar merupakan asbab al-nuzul, dalam hal seperti ini dapat
dilakukan beberapa cara :
a.
Satu
diantara bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, sedangkan riwayat lain
menyebutkan asbab al nuzul suatu ayat dengan tegas, maka yang menjadi pegangan
adalah riwayat yang menyebutkan asbab-al nuzul secara tegas, dan riwayat lain
dipandang masuk dalam kandungan hukum ayat.
b.
Apabila
banyak riwayat tentang asbab al-nuzul dan semuanya menegaskan sebab turunnya,
tetapi hanya salah satu riwayat saja yang shahih, maka yang menjadi pegangan
adalah yang shahih. Disinilah diperlukan penelitian hadis, baik matan maupun
sanad.
c.
Apabila
beberapa riwayat itu sama shahih, namun terdapat segi yang memperkuat salah
satunya, seperti kehadiran perowi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari
riwayat-riwayat itu lebih sharih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang
didahulukan.
d.
Apabila
beberapa riwayat asbab al-nuzul sama kuat, maka riwayat-riwayat tersebut
dipadukan atau dikompromikan bila mungkin, sehingga dinyatakan bahwa ayat
tersebut turun sesudah terjadi dua sebab atau lebih, karena jarak waktu diantara
sebab-sebab itu berdekatan.
e.
Riwayat-riwayat
itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara sebab-sebab tersebut
berjauhan, maka hal yang demikian menurut para ulama dianggap sebagai banyaknya
sebab dan berulang-ulang turunnya ayat tersebut. Namun sebagian ulama berpendapat
bahwa pendapat yang menyatakan ayat itu turun berulang-ulang tidak dapat
diterima. Bahkan menurut Al-Qattan, hal ini tidak mempunyai kridit poin yang
positif. Kedua riwayat itu bisa ditarjih
atau dikuatkan salah satunya.[8]
E.
Contoh
Asbabun Nuzul
Firman Allah QS. Al-Anbiya (21) : 6
!$tB ôMuZtB#uä Nßgn=ö6s% `ÏiB >ptös% !$yg»oYõ3n=÷dr& ( öNßgsùr& cqãZÏB÷sã ÇÏÈ
“Tidak ada (penduduk) suatu negeri pun beriman yang Kami telah membiaakannya
sebelum mereka; maka apakah mereka akan beriman?”
Dalam suatu riwayat
dikemukakan bahwa penduduk Mekah berkata kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa
sallam: “Sekiranya apa yag engkau katakana itu benar dan engkau
menghendaki agar kami beriman kapadamu, coba jadikan Gunung Shafa ini emas”.
Datanglah Jibril berkata : “Sekiranya engkau mau pastilah apa yang
dikehendaki kaummu itu akan terwujud. Namun sekiranya mereka tidak beriman setelah
mereka dikabulkan permintaannya, mereka dengan serta merta akan disiksa tanpa
diberi tempo lagi. Atau engkau sendiri menangguhkan dalam mengabulkan
permintaan mereka dengan harapan agar mereka beriman”. Ayat ini (QS. Al-Anbiya (21) : 6) turun sebagai
peringatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kaum-kaum sebelumnya
juga pernah meminta mukjizat, akan tetapi setelah dikabulkan, mereka tetap
kufur. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah)
Firman Allah QS. Al-Anbiya (21) : 34
$tBur $uZù=yèy_ 9|³t6Ï9 `ÏiB Î=ö6s% t$ù#ãø9$# ( û'ïÎ*sùr& ¨MÏiB ãNßgsù tbrà$Î#»sø:$# ÇÌÍÈ
“Kami tidak menjadikan
hidup abadi bagi seorang pun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati,
apakah mereka akan kekal.”
Dalam suatu riwayat
dikemukakan, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi tahu hari
wafatnya, beliau bersabda: “ Ya Rabbi! Siapa yang akan membela umatku ini?”
Turunlah ayat ini, yang menegaskan bahwa setiap makhluk tidak ada yang dapat
hidup kekal di dunia. (Diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir yang bersumbeer dari Ibnu Juraij).
Firman Allah QS. Al-Anbiya (21) : 36
#sÎ)ur x8#uäu tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿ2 cÎ) y7tRräÏGt wÎ) #·râèd #x»ydr& Ï%©!$# ãà2õt öNä3tGygÏ9#uä Nèdur Ìò2ÉÎ/ Ç`»uH÷q§9$# öNèd crãÏÿ»2 ÇÌÏÈ
“Dan apabila orang-orang kafir itu melihat kamu, mereka hanya membuat kamu
menjadi olok-olok. (Mereka mengatakan) : “Apakah ini orang yang mencela
tuhan-tuhanmu?”, padahal mereka adalah orang yang ingkar mengingat Allah Yang
Maha Pemurah.”
Dalam suatu riwayat
dikemukakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat di depan Abu
Jahl dan Abu Sufyan yang sedang bercakap-cakap. Ketika Abu Jahl melihat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, ia tertawa dan berkata kepada Abu Sufyan : “Inilah
Nabi Bani Abdi al-Manaf.” Marahlah Abu Sufyan dan berkata : “Apakah kamu
akan memungkiri jika dari Bani Abdi al-Manaf ada seorang Nabi?” Percakapan
ini terdengar oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berbalik
kepada Abu Jahl dengan pandangan yang tajam sambil memberikan peringatan: “Aku
tidak melihat engkau berhenti mengganggu, sehingga engkau mendapat siksaan
sebelum waktu yang seharusnya.” Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa
tersebut.(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari as-Suddi)
firman Allah
Q.S. al-Maidah : 93, berbunyi :
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا
“Tidak berdosa atas orang-orang beriman dan beramal shaleh terhadap
apa yang mereka makan”. (Q.S.
al-Maidah : 93)
Diceritakan bahwa Utsman bin Madhghun dan ‘Amr bin Ma’dy Karb
berpendapat bahwa khamar adalah halal berdasarkan firman Allah di atas.
Al-Suyuthi menjelaskan seandainya keduanya mengetahui asbabun nuzul ayat di
atas, pasti keduanya tidak akan berpendapat seperti itu. Karena asbabun nuzul
ayat di atas adalah manakala diharamkan khamar, manusia bertanya-tanya,
bagaimana dengan orang-orang telah syahid pada peperangan pada jalan Allah,
sementara mereka pernah minum khamar. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
ayat di atas bukanlah menjelaskan apabila seseorang sudah beriman dan beramal
shaleh boleh minum dan makan apa saja, tetapi hanya menjelaskan bahwa
orang-orang yang beriman dan beramal shaleh yang sudah meninggal dunia dunia
sebelum turun ayat pengharaman khamar, mereka tidak berdosa atas perbuatan
meminum khamar pada ketika hidup mereka.
firman Allah Q.S. al-An’am : 145, berbunyi :
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ
مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا
أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah”.(Q.S.
al-An’am : 145)
Ayat ini diturunkan karena kaum kafir menentang Allah dengan
mengharamkan yang dihalalkan Allah dan menghalalkan yang diharamkan-Nya, maka
turunlah ayat di atas untuk melawan maksud mereka, sehingga seolah-olah Allah
mengatakan “Tidak haram kecuali apa yang kamu halalkan, yaitu bangkai, darah,
daging babi dan sembelihan yang bukan dengan nama Allah.” Tidak dimaksudkan
sebagai halal selain yang tersebut itu, karena maksud ayat tersebut adalah
menetapkan yang haram, bukan menetapkan yang halal.
firman
Allah Q.S. al-Ahqaf : 17, berbunyi :
وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ
لَكُمَا
“Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu
bapaknya: "ah bagi kamu keduanya”.
(Q.S. al-Ahqaf : 17)
Diriwayatkan
bahwa Marwan meminta kepada kaum muslimin untuk mau bai’at kepada Yazid, Marwan
mengatakan : “Ini adalah sunnah Abu Bakar dan Umar”, Abdurrahman bin Abu Bakar
menjawab : “Sunnah Heraqlu dan Kaisar”. Marwan menjawab pula : “Ini adalah
orang yang dikatakan Allah tentangnya pada ayat : “Dan orang yang berkata
kepada dua orang ibu bapaknya: "Ah bagi kamu keduanya”. Berita perkataan
Marwan ini tentang Abdurrahman bin Abu Bakar ini sampai kepada Aisyah, Aisyah
membantah : “Dusta Marwan, demi Allah, Abdurrahman bukan orangnya, kalau kamu
menginginkan aku sebut nama orang yang diturunkan ayat tersebut tentangnya ,
maka aku sebut namanya. Dengan sebab ada penjelasan asbabun nuzul dari Aisyah,
maka terlepas Abdurrahman bin Abu Bakar dari tuduhan yang tidak benar.
BAB III
SIMPULAN
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan
persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam
agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an,
Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum
kedua setelah Al-Qur'an.
asbabun nuzul adalah sebuah peristiwa yang menyebabkan turunnya
firman Allah disaat Nabi menerima wahyu, baik iya berupa jawaban atas peristiwa
yang dialami saat itu atau penjelasan atas kejadian tersebut.
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah
riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan
pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas.
Keterangan dari riwayat-riwayat tentang asbab al-nuzul tidak semua bernilai shahih (benar), seperti
halnya riwayat-riwayat hadis. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang
seksama terhadap keterangan-keterangan (riwayat-riwayat) tentang asbab al-nuzul,
baik tentang sanad-sanadnya (perawi-perawi) maupun matan- matannya.
Maka dari sini dapat lah kita pahami bahwa kontri busi hadis
terhadap asbabun nuzul sangat lah besar bahakan asbabun nuzul itu senndiri
adalah ahadis yang diriwayatkan, untuk mengetahui asbabun nuzul harus
mengetahui periwayatannya.
1.
Pembagian
asbab
2.
Contoh
yg begitu tersetruktur misalnya ayat langsung trun tanpa ada latar belakang
sebutkan contohnya.
3.
Asbabun
nuzul menurut ulama usul.
4.
Ayat-ayat
yg bicara tentang hukum.
5.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Zaid Nasr Hamid, Tekstualitas al-Qurán: Kritik Terhadap Ulumul Qurán
(Yogyakarta: LKiS, 2001).
Chirzin
Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an,(Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
1998).
Shalih
Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an (terjemah Nur Rakhim dkk), (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993).
Khalil
al-Qattan Manna’, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Jakarta: Pustaka Litera
AntarNusa, 1992).
http://addienwahab.blogspot.com/2012/02/ilmu-asbabal-nuzul.html
[1]
http://www.islam2u.net/index.php?option=com_content&view=article&id=102:pengertian-hadits&catid=20:fatwa&Itemid=65
[2] Nasr Hamid Abu
Zaid, Tekstualitas al-Qurán: Kritik Terhadap Ulumul Qurán (Yogyakarta: LKiS,
2001), hlm. 125-126.
[3] Muhammad
Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an,(Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
1998), hlm.30.
[4] Subhi Shalih, Membahas
Ilmu-ilmu Al-Qur’an (terjemah Nur Rakhim dkk), (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993), hlm. 160.
[5]https://www.academia.edu/7350100/ASBABUN_NUZULIL_QURAN?login=&email_was_taken=true&login=&email_was_taken=true
[6] Manna’ Khalil
al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa,
1992), hlm.107.
[7]
http://www.al-aziziyah.com/.../147-asbab-an-nuzul-sebagai-langkah-awal-memahami-al-quran.html-Tembolok
[8]
http://addienwahab.blogspot.com/2012/02/ilmu-asbabal-nuzul.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar