Rabu, 21 Januari 2015

Asbabun Nuzul



KONTRIBUSI HADIST TERHADAP ASBABUN NUZUL
logo baru uin suska riau.jpg

Oleh:
Manahan Harahap



PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN PENDIDIDKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
UIN SUSKA RIAU
Th. 2015/2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Al-quran adalah mukjizat bagi umat islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw untuk disampaikan kepada umat manusia. Al Quran sendiri dalam proses penurunannya mengalami banyak proses yang mana dalam penurunannya itu berangsur-angsur dan bermacam-macam nabi menerimanya. Sebagaimana dalam perjalanan pembukuan al Quran yang banyak mengalami hambatan sampai banyaknya para penghafal al quran yang meninggal, maka dalam proses aplikasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya juga sangat banyak kendalanya. Kita mengenal turunnya al quran sebagai tanggal 17 Ramadhan. Maka setiap bulan 17 Ramadhan kita mengenal yang namanya Nuzulul Quran yaitu hari turunnya al Quran.
Dalam penurunan al Quran terjadi di dua kota yaitu Madinah dan Mekkah. Surat yang turun di Mekkah disebut dengan Makkiyah sedangkan surat yang turun di Madinah disebut dengan surat Madaniyah. Dan juga dalam pembedaan itu terjadi banyak perbedaan antara para ahli Quran apakah ini surat Makkiyah atau surat Madaniyah. Maka dari permasalahan diatas tercetus dalam benak kami ingin mengulas tentang kontribusi Hadist Terhadap Asbabun Nuzul. Maka untuk itu pertanyaan ini akan mengantarkan pembahasan kami tentang  penjelasan sebab turunnya al-Quran.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hadist..?
2.      Apa pengertian asbabun nuzul..?
3.      Bagai mana cara mengetahui asbabun nuzul..?
4.      Bagaimana contoh asbabun nuzul..?
5.      Bagaimana periwayatan asbabun nuzul..?










BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Hadist
Sunnah atau hadis artinya menurut bahasa adalah cara yang dibiasakan atau cara yang dipuji. Sedangkan menurut istilah bahwa hadis adalah perkataan Nabi, perbuatannya dan taqrirnya (yakni ucapan dan perbuatan sahabat yang beliau diamkan dengan arti membenarkannya). Dengan demikian sunnah Nabi dapat berupa: sunnah Qauliyah (perkataan), Sunnah Fi’liyah (perbuatan), Sunnah Taqriryah (ketetapan).
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.[1]
Dilihat dari dua defenisi ditas maka dapat disimpulkan hadist adalah segala sesuatu yang disandarkan kepeda Nabi baik ia pekataan, perbuatan, dan ketetapannya, yang menjadi sumber hukum kedua setelah Al-qur’an.
B.     Pengertian Asbabun Nuzul
Secara bahasa Asbabun Nuzul terdiri dari dua kata yaitu Asbab, jamak dari sabab yang berarti sebab atau latar belakang, sedangkan Nuzul merupakan bentuk masdar dari anzala yang berarti turun.
Asbab an-nuzul merupakan ilmu yang menunjukkan hubungan dan dialektika antara nash (teks) dan realitas. Asbab an-nuzul memberikan materi baru bagaimana peran teks dalam merespon realitas yang melingkupinya. Teks juga menjelaskan bagaimana ayat atau sejumlah ayat diturunkan ketika ada satu peristiwa khusus yang mengharuskan munculnya teks tersebut. Sangat sedikit ayat-ayat yang diturunkan tanpa ada sebab eksternal. Sehingga dalam memahami makna teks dituntut adanya pengetahuan awal tentang realitas yang memproduksi teks-teks tersebut.[2]
M. Hasbi Ash Shiddieqy mengartikan Asbabun Nuzul sebagai kejadian yang karenanya diturunkan Al-Qur’an untuk menerangkan hukumnya di hari timbul kejadian-kejadian itu dan suasana yang didalamnya Al-Qur’an diturunkan serta membicarakan sebab yang tersebut itu, baik diturunkan  langsung sesudah terjadi sebab itu ataupun kemudian lantaran sesuatu hikmah.[3]
      Subhi Shalih menyatakan bahwa Asbabun Nuzul itu sangat berkenaan dengan sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu     pertanyaan  yang menjadi sebab turunnya  ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.[4]
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa asbabun nuzul adalah sebuah peristiwa yang menyebabkan turunnya firman Allah disaat Nabi menerima wahyu, baik iya berupa jawaban atas peristiwa yang dialami saat itu atau penjelasan atas kejadian tersebut.
C.     Cara Mengetahui Asbabun Nujul
Yang mempunyai otoritas untuk mengungkapkan asbab nuzul ayat-ayat Al-Quran adalah  para sahabat Nabi, karena merekalah yang menyaksikan turunnya ayat-ayat Al-Quran tersebut. Dengan demikian, pelacakan asbab nuzul harus diakukan dengan mencari dan mempelajari perkataan-perkataan sahabat yang mengungkapkan proses turunnya ayat-ayat Al-Quran itu,atau riwayat-riwayat yang bermuara minimal para sahabat. Kalau perkataan sahabat tersebut juga mengungkapkan tentang perkataan atau perbuatan Rasulullah yang berhubungan dengan turunnya ayat-ayat Al-Quran, maka kedudukannya menjadi hadis marfu, dan sangat berpeluang untuk memperoleh kualitas hadis sahih. Tetapi, kalau perkataan mereka itu, tidak menyinggung sedikitpun tentang Rasulullah, maka hadisnya menjadi mauquf. Oleh sebab itu, wajar kalau para sarjana ilmu Al-quran, kemudian menyimpulkan bahwa hadis-hadis tentang asbab nuzul itu, pada umumnya lemah karena tidak sampai pada Rasulullah. Akan tetapi hadis-hadis tentang asbab nuzul tidak menyangkut tentang ajaran keagamaan, tetapi sekedar mengemukakan tentang latar belakang, atau berbagai peristiwa yang mengiringi turunnya ayat. Oleh sebab itu, kendati lemah, hadis-hadis tersebut dapat digunakan, sebagai bahan referensi untuk memahami pesan-pesan ayat Al-Quran.[5]
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekadar pendapat (ra’yu), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan: ”Tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul Kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”[6]
            Dalam periwayatan asbab an-nuzul dapat dikenali melalui empat cara yaitu:[7]
1.      Asbab an-nuzul disebutkan dengan redaksi yang sharih (jelas) atau jelas ungkapannya berupa (sebab turun ayat ini adalah demikian), ungkapan seperti ini menunjukkan bahwa sudah jelas dan tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.
2.      Asbab an-nuzul yang tidak disebut dengan lafaz sababu (sebab), tetapi hanya dengan mendatangkan lafaz fa ta’qibiyah bermakna maka atau kemudian dalam rangkaian suatu riwayat, termasuk riwayat tentang turunnya suatu ayat setelah terjadi peristiwa. Seperti berkaitan dengan pertanyaan orang Yahudi pada masalah mendatangi isteri-isteri dari dhuburnya. Maka turun surat Al-Baqarah ayat 223, artinya:”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki, dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya, dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
3.      Asbab an-nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Turunnya ayat tersebut setelah adanya pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia diberi wahyu oleh Allah untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan ayat yang baru diturunkan tersebut.
4.      Asbab an-nuzul tidak disebutkan ungkapan sebab secara tegas Tetapi menggunakan ungkapan dalam redaksi ini dikategorikan untuk menerangkan sebab nuzul suatu ayat, juga ada kemungkinan sebagai penjelasan tentang kandungan hukum atau persoalan yang sedang dihadapi.
D.     Periwayatan Asbabun Nuzul
Keterangan dari riwayat-riwayat tentang asbab al-nuzul  tidak semua bernilai shahih (benar), seperti halnya riwayat-riwayat hadis. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang seksama terhadap keterangan-keterangan (riwayat-riwayat) tentang asbab al-nuzul, baik tentang sanad-sanadnya (perawi-perawi) maupun matan- matannya.
Asbab al nuzul suatu ayat terkadang mengandung beberapa riwayat, maka riwayat manakah yang benar-benar merupakan asbab al-nuzul, dalam hal seperti ini dapat dilakukan beberapa cara :
a.       Satu diantara bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, sedangkan riwayat lain menyebutkan asbab al nuzul suatu ayat dengan tegas, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan asbab-al nuzul secara tegas, dan riwayat lain dipandang masuk dalam kandungan hukum ayat.
b.      Apabila banyak riwayat tentang asbab al-nuzul dan semuanya menegaskan sebab turunnya, tetapi hanya salah satu riwayat saja yang shahih, maka yang menjadi pegangan adalah yang shahih. Disinilah diperlukan penelitian hadis, baik matan maupun sanad.
c.       Apabila beberapa riwayat itu sama shahih, namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perowi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih sharih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan.
d.      Apabila beberapa riwayat asbab al-nuzul sama kuat, maka riwayat-riwayat tersebut dipadukan atau dikompromikan bila mungkin, sehingga dinyatakan bahwa ayat tersebut turun sesudah terjadi dua sebab atau lebih, karena jarak waktu diantara sebab-sebab itu berdekatan.
e.       Riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara sebab-sebab tersebut berjauhan, maka hal yang demikian menurut para ulama dianggap sebagai banyaknya sebab dan berulang-ulang turunnya ayat tersebut. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa pendapat yang menyatakan ayat itu turun berulang-ulang tidak dapat diterima. Bahkan menurut Al-Qattan, hal ini tidak mempunyai kridit poin yang positif.  Kedua riwayat itu bisa ditarjih atau dikuatkan salah satunya.[8]
E.      Contoh Asbabun Nuzul
Firman Allah QS. Al-Anbiya (21) : 6
!$tB ôMuZtB#uä Nßgn=ö6s% `ÏiB >ptƒös% !$yg»oYõ3n=÷dr& ( öNßgsùr& šcqãZÏB÷sムÇÏÈ  
Tidak ada (penduduk) suatu negeri pun beriman yang Kami telah membiaakannya sebelum mereka; maka apakah mereka akan beriman?”
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa penduduk Mekah berkata kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Sekiranya apa yag engkau katakana itu benar dan engkau menghendaki agar kami beriman kapadamu, coba jadikan Gunung Shafa ini emas”. Datanglah Jibril berkata : “Sekiranya engkau mau pastilah apa yang dikehendaki kaummu itu akan terwujud. Namun sekiranya mereka tidak beriman setelah mereka dikabulkan permintaannya, mereka dengan serta merta akan disiksa tanpa diberi tempo lagi. Atau engkau sendiri menangguhkan dalam mengabulkan permintaan mereka dengan harapan agar mereka beriman”. Ayat ini (QS. Al-Anbiya (21) : 6) turun sebagai peringatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kaum-kaum sebelumnya juga pernah meminta mukjizat, akan tetapi setelah dikabulkan, mereka tetap kufur. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah)
Firman Allah QS. Al-Anbiya (21) : 34
$tBur $uZù=yèy_ 9Ž|³t6Ï9 `ÏiB šÎ=ö6s% t$ù#ãø9$# ( û'ïÎ*sùr& ¨MÏiB ãNßgsù tbrà$Î#»sƒø:$# ÇÌÍÈ  
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang pun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal.”
Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi tahu hari wafatnya, beliau bersabda: “ Ya Rabbi! Siapa yang akan membela umatku ini?” Turunlah ayat ini, yang menegaskan bahwa setiap makhluk tidak ada yang dapat hidup kekal di dunia. (Diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir yang bersumbeer dari Ibnu Juraij).
Firman Allah QS. Al-Anbiya (21) : 36
#sŒÎ)ur x8#uäu tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿŸ2 cÎ) y7tRräÏ­Gtƒ žwÎ) #·râèd #x»ydr& Ï%©!$# ãà2õtƒ öNä3tGygÏ9#uä Nèdur ̍ò2ÉÎ/ Ç`»uH÷q§9$# öNèd šcrãÏÿ»Ÿ2 ÇÌÏÈ  
“Dan apabila orang-orang kafir itu melihat kamu, mereka hanya membuat kamu menjadi olok-olok. (Mereka mengatakan) : “Apakah ini orang yang mencela tuhan-tuhanmu?”, padahal mereka adalah orang yang ingkar mengingat Allah Yang Maha Pemurah.”
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat di depan Abu Jahl dan Abu Sufyan yang sedang bercakap-cakap. Ketika Abu Jahl melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia tertawa dan berkata kepada Abu Sufyan : “Inilah Nabi Bani Abdi al-Manaf.” Marahlah Abu Sufyan dan berkata : “Apakah kamu akan memungkiri jika dari Bani Abdi al-Manaf ada seorang Nabi?” Percakapan ini terdengar oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berbalik kepada Abu Jahl dengan pandangan yang tajam sambil memberikan peringatan: “Aku tidak melihat engkau berhenti mengganggu, sehingga engkau mendapat siksaan sebelum waktu yang seharusnya.” Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut.(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari as-Suddi)
firman Allah Q.S. al-Maidah : 93, berbunyi :
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا
“Tidak berdosa atas orang-orang beriman dan beramal shaleh terhadap apa yang mereka makan”. (Q.S. al-Maidah : 93)
Diceritakan bahwa Utsman bin Madhghun dan ‘Amr bin Ma’dy Karb berpendapat bahwa khamar adalah halal berdasarkan firman Allah di atas. Al-Suyuthi menjelaskan seandainya keduanya mengetahui asbabun nuzul ayat di atas, pasti keduanya tidak akan berpendapat seperti itu. Karena asbabun nuzul ayat di atas adalah manakala diharamkan khamar, manusia bertanya-tanya, bagaimana dengan orang-orang telah syahid pada peperangan pada jalan Allah, sementara mereka pernah minum khamar. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ayat di atas bukanlah menjelaskan apabila seseorang sudah beriman dan beramal shaleh boleh minum dan makan apa saja, tetapi hanya menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shaleh yang sudah meninggal dunia dunia sebelum turun ayat pengharaman khamar, mereka tidak berdosa atas perbuatan meminum khamar pada ketika hidup mereka.
firman Allah Q.S. al-An’am : 145, berbunyi :
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”.(Q.S. al-An’am : 145)
Ayat ini diturunkan karena kaum kafir menentang Allah dengan mengharamkan yang dihalalkan Allah dan menghalalkan yang diharamkan-Nya, maka turunlah ayat di atas untuk melawan maksud mereka, sehingga seolah-olah Allah mengatakan “Tidak haram kecuali apa yang kamu halalkan, yaitu bangkai, darah, daging babi dan sembelihan yang bukan dengan nama Allah.” Tidak dimaksudkan sebagai halal selain yang tersebut itu, karena maksud ayat tersebut adalah menetapkan yang haram, bukan menetapkan yang halal.
firman Allah Q.S. al-Ahqaf : 17, berbunyi :
وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا
“Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "ah bagi kamu keduanya”. (Q.S. al-Ahqaf : 17)
Diriwayatkan bahwa Marwan meminta kepada kaum muslimin untuk mau bai’at kepada Yazid, Marwan mengatakan : “Ini adalah sunnah Abu Bakar dan Umar”, Abdurrahman bin Abu Bakar menjawab : “Sunnah Heraqlu dan Kaisar”. Marwan menjawab pula : “Ini adalah orang yang dikatakan Allah tentangnya pada ayat : “Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Ah bagi kamu keduanya”. Berita perkataan Marwan ini tentang Abdurrahman bin Abu Bakar ini sampai kepada Aisyah, Aisyah membantah : “Dusta Marwan, demi Allah, Abdurrahman bukan orangnya, kalau kamu menginginkan aku sebut nama orang yang diturunkan ayat tersebut tentangnya , maka aku sebut namanya. Dengan sebab ada penjelasan asbabun nuzul dari Aisyah, maka terlepas Abdurrahman bin Abu Bakar dari tuduhan yang tidak benar.










BAB III
SIMPULAN
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
asbabun nuzul adalah sebuah peristiwa yang menyebabkan turunnya firman Allah disaat Nabi menerima wahyu, baik iya berupa jawaban atas peristiwa yang dialami saat itu atau penjelasan atas kejadian tersebut.
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas.
Keterangan dari riwayat-riwayat tentang asbab al-nuzul  tidak semua bernilai shahih (benar), seperti halnya riwayat-riwayat hadis. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang seksama terhadap keterangan-keterangan (riwayat-riwayat) tentang asbab al-nuzul, baik tentang sanad-sanadnya (perawi-perawi) maupun matan- matannya.
Maka dari sini dapat lah kita pahami bahwa kontri busi hadis terhadap asbabun nuzul sangat lah besar bahakan asbabun nuzul itu senndiri adalah ahadis yang diriwayatkan, untuk mengetahui asbabun nuzul harus mengetahui periwayatannya.
1.      Pembagian asbab
2.      Contoh yg begitu tersetruktur misalnya ayat langsung trun tanpa ada latar belakang sebutkan contohnya.
3.      Asbabun nuzul menurut ulama usul.
4.      Ayat-ayat yg bicara tentang hukum.
5.       








DAFTAR PUSTAKA
Abu Zaid Nasr Hamid, Tekstualitas al-Qurán: Kritik Terhadap Ulumul Qurán (Yogyakarta: LKiS, 2001).
Chirzin Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an,(Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998).
Shalih Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an (terjemah Nur Rakhim dkk), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
Khalil al-Qattan Manna’, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 1992).
http://addienwahab.blogspot.com/2012/02/ilmu-asbabal-nuzul.html


[1] http://www.islam2u.net/index.php?option=com_content&view=article&id=102:pengertian-hadits&catid=20:fatwa&Itemid=65
[2] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qurán: Kritik Terhadap Ulumul Qurán (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 125-126.
[3] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an,(Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm.30.
[4] Subhi Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an (terjemah Nur Rakhim dkk), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 160.
[5]https://www.academia.edu/7350100/ASBABUN_NUZULIL_QURAN?login=&email_was_taken=true&login=&email_was_taken=true
[6] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 1992), hlm.107.
[7] http://www.al-aziziyah.com/.../147-asbab-an-nuzul-sebagai-langkah-awal-memahami-al-quran.html-Tembolok
[8] http://addienwahab.blogspot.com/2012/02/ilmu-asbabal-nuzul.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar